Senin, 22 Desember 2014

Kajian Intertekstual



Nurgiyantoro (1992:50) mengatakan bahwa kajian intertekstual terhadap sejumlah teks sastra yang diduga mempunyai bentuk-bentuk hubungan tertentu. Mengacu pendapat Nurgiyantoro tersebut, dapat dikatakan bahwa kajian intertekstual mencakup sastra bandingan, yaitu studi hubungan antara dua kesusastraan atau lebih (Wellek dan Warren, 1990 :49).
Secara luas interteks diartikan sebagai jaringan hubungan antara satu teks dengan teks yang lain. Penelitian dilakukan dengan cara melakukan hubungan-hubungan bermakna d antara dua teks atau lebih. Hubungan yang dimaksudkan tidak semata-mata sebagai persamaan, melainkan juga sebaliknya sebagai pertentangan, baik sebagai parodi maupun negasi.
Menurut Riffaterre (1978: 5)  pendekatan suatu karya sastra di satu pihak adalah dialektik antara teks dan pembaca, dan di pihak lain adalah dialektik antara tataran mimetik dan tataran semiotik. Lebih jauh Riffaterre menjelaskan bahwa pembaca sebagai pemberi makna harus mulai dengan menemukan arti (meaning) unsur-unsurnya, yaitu kata-kata  berdasar fungsi bahasa sebagai alat komunikasi yang mimetik (mimetic function), tetapi kemudian harus ditingkatkan ke tataran semiotik, yaitu kode karya sastra harus dibongkar secara struktural (decoding) atas dasar signifinance, yang hanya dapat dipahami   dengan kompetensi linguistik (linguistic competence), kompetensi kesastraan (literary competence), dan terutama dalam hubungannya dengan teks lain. Hal ini disebabkan oleh karena membaca karya sastra pada dasarnya adalah membina atau membangun acuan.
Adapun acauan itu didapat dari pengalaman membaca  teks-teks lain dalam sistem konvensi kesastraan. Dengan demikian suatu sajak (baca: karya sastra) baru bermakna penuh dalam hubungannya atau pertentangannya dengan karya sastra lain. Karya sastra lain yang menunjukkan hubungan antar teks yang menjadi acuannya disebut hipogram (hypogram). Dalam hubungan antar teks tersebut terdapat dua hal yang dikemukakan oleh Riffaterre (1978: 5), yaitu:7 (1) ekspansi (expansion), dan (2) konversi (conversion). Ekspansi adalah perluasan atau pengembangan dari hipogram, sedangkan konversi adalah pemutar balikan hipogram atau matriksnya. Di samping itu, Partini Sardjono (l986: 63) menambah dua hal yang telah dikemukakan oleh Riffaterre tersebut, yaitu: (3) modifikasi (modification) atau pengubahan, dan (4) ekserp (exerpt). Lebih lanjut Partini Sardjono menjelaskan bahwa modifikasi biasanya merupakan manipulasi pada tataran linguistik, yaitu manipulasi kata atau urutan kata dalam kalimat; pada tataran kesastraan ialah manipulasi tokoh (protagonis) atau plot cerita. Ekserp artinya intisari suatu unsur atau episode dari hipogram.
Menurut teori interteks, pembacaan yang berhasil justru apabila didasarkan atas pemahaman terhadap karya-karya terdahulu. Oleh karena itulah, secara praktis aktivitas interteks terjadi melalui dua cara yaitu : (a) membaca dua teks atau lebih secara berdampingan pada saat yang sama, (b) hanya membaca sebuah teks tetapi dilatarbelakangi oleh teks-teks yang lain yang sudah pernah dibaca sebelumnya.
Dalam hal hubungan sejarah antarteks itu, perlu diperhatikan prinsip intertektualitas. Hal ini ditunjukkan oleh Rifaterre dalam bukunya Semiotics of Poetry (1978) bahwa sajak baru bermakna penuh dalam hubungannya dengan sajak lain. Hubungan ini dapat berupa persamaan atau pertentangan. Selanjutnya dkatakan Rifaterre (1978:11,23) bahwa sajak (teks sastra) yang menjadi latar karya sastra sesudahnya itu itu disebut hipogram (Pradopo 2005: 167).
Julia Kristeva (dalam Culler, 1977:139) menegaskan bahwa setiap teks itu merupakan penyerapan atau transformasi teks-teks lain. Sebuah sajak itu merupakan penyerapan dan tranformasi hipogramnya. Dengan ungkapan lain, bagi Kristeva, masuknya teks ke dalam teks lain adalah hal yang biasa terjadi dalam karya sastra, sebab pada hakikatnya suatu teks merupakan bentuk absorsi dan transformasi dari sejumlah teks lain, sehingga terlihat sebagai suatu mozaik (Ali Imron: 2005:80).
Dalam realitasnya, karya sastra yang muncul kemudian ada yang bersifat menentang gagasan atau ide sentral hipogramnya, ada yang justru menguatkan atau mendukung, namun ada juga yang memperbarui gagasan yang ada dalam hipogram. Prinsip intertekstual merupakan salah satu sarana pemberian makna terhadap sebuah teks sastra (sajak). Hal ini mengingat bahwa sastrawan itu selalu menanggapi teks-teks lain yang ditulis sebelumnya. Dalam meanggapiteks itu penyair mempunyai pikiran-pikiran, gagasan-gagasan, dan konsep estetik sendiri yang ditentukan oleh horizon harapannya, yaitu pemikiran-pemikiran, konsep estetik, dan pengetahuan tentang sastra yang dimilikinya. Semuanya itu ditentukan oleh pengetahuan yang didapat olehnya yang tak terlepas dari pandangan-pandangan dunia dan kondisi serta situasi zamannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar