Nurgiyantoro (1992:50) mengatakan
bahwa kajian intertekstual terhadap sejumlah teks sastra yang diduga mempunyai
bentuk-bentuk hubungan tertentu. Mengacu pendapat Nurgiyantoro tersebut, dapat
dikatakan bahwa kajian intertekstual mencakup sastra bandingan, yaitu studi
hubungan antara dua kesusastraan atau lebih (Wellek dan Warren, 1990 :49).
Secara luas interteks diartikan sebagai jaringan hubungan antara satu teks
dengan teks yang lain. Penelitian dilakukan dengan cara melakukan
hubungan-hubungan bermakna d antara dua teks atau lebih. Hubungan yang
dimaksudkan tidak semata-mata sebagai persamaan, melainkan juga sebaliknya
sebagai pertentangan, baik sebagai parodi maupun negasi.
Menurut Riffaterre (1978: 5) pendekatan suatu karya sastra di satu
pihak adalah dialektik antara teks dan pembaca, dan di pihak lain adalah
dialektik antara tataran mimetik dan tataran semiotik. Lebih jauh Riffaterre menjelaskan bahwa pembaca sebagai pemberi makna harus
mulai dengan menemukan arti (meaning) unsur-unsurnya, yaitu
kata-kata berdasar fungsi bahasa sebagai alat komunikasi yang mimetik (mimetic
function), tetapi kemudian harus ditingkatkan ke tataran semiotik, yaitu
kode karya sastra harus dibongkar secara struktural (decoding) atas
dasar signifinance, yang hanya dapat dipahami dengan
kompetensi linguistik (linguistic competence), kompetensi
kesastraan (literary competence), dan terutama dalam hubungannya
dengan teks lain. Hal ini disebabkan oleh karena membaca karya sastra pada
dasarnya adalah membina atau membangun acuan.
Adapun acauan itu didapat dari pengalaman membaca teks-teks lain
dalam sistem konvensi kesastraan. Dengan demikian suatu sajak (baca: karya
sastra) baru bermakna penuh dalam hubungannya atau pertentangannya dengan karya
sastra lain. Karya sastra lain yang menunjukkan hubungan antar teks yang
menjadi acuannya disebut hipogram (hypogram). Dalam hubungan antar teks
tersebut terdapat dua hal yang dikemukakan oleh Riffaterre (1978: 5),
yaitu:7 (1) ekspansi (expansion), dan (2) konversi (conversion).
Ekspansi adalah perluasan atau pengembangan dari hipogram, sedangkan konversi
adalah pemutar balikan hipogram atau matriksnya. Di samping itu, Partini
Sardjono (l986: 63) menambah dua hal yang telah dikemukakan oleh Riffaterre
tersebut, yaitu: (3) modifikasi (modification) atau pengubahan, dan (4)
ekserp (exerpt). Lebih lanjut Partini Sardjono menjelaskan bahwa
modifikasi biasanya merupakan manipulasi pada tataran linguistik, yaitu
manipulasi kata atau urutan kata dalam kalimat; pada tataran kesastraan ialah
manipulasi tokoh (protagonis) atau plot cerita. Ekserp artinya intisari suatu unsur atau episode dari hipogram.
Menurut teori interteks, pembacaan yang berhasil justru apabila didasarkan
atas pemahaman terhadap karya-karya terdahulu. Oleh karena itulah, secara
praktis aktivitas interteks terjadi melalui dua cara yaitu : (a) membaca dua
teks atau lebih secara berdampingan pada saat yang sama, (b) hanya membaca
sebuah teks tetapi dilatarbelakangi oleh teks-teks yang lain yang sudah pernah
dibaca sebelumnya.
Dalam hal hubungan sejarah antarteks itu, perlu diperhatikan prinsip
intertektualitas. Hal ini ditunjukkan oleh Rifaterre dalam bukunya Semiotics
of Poetry (1978) bahwa sajak baru bermakna penuh dalam hubungannya dengan
sajak lain. Hubungan ini dapat berupa persamaan atau pertentangan. Selanjutnya
dkatakan Rifaterre (1978:11,23) bahwa sajak (teks sastra) yang menjadi latar
karya sastra sesudahnya itu itu disebut hipogram (Pradopo 2005: 167).
Julia Kristeva (dalam Culler, 1977:139) menegaskan bahwa setiap teks itu
merupakan penyerapan atau transformasi teks-teks lain. Sebuah sajak itu
merupakan penyerapan dan tranformasi hipogramnya. Dengan ungkapan lain, bagi
Kristeva, masuknya teks ke dalam teks lain adalah hal yang biasa terjadi dalam
karya sastra, sebab pada hakikatnya suatu teks merupakan bentuk absorsi dan transformasi
dari sejumlah teks lain, sehingga terlihat sebagai suatu mozaik (Ali Imron:
2005:80).
Dalam realitasnya, karya sastra yang muncul kemudian ada yang bersifat
menentang gagasan atau ide sentral hipogramnya, ada yang justru menguatkan atau
mendukung, namun ada juga yang memperbarui gagasan yang ada dalam hipogram. Prinsip
intertekstual merupakan salah satu sarana pemberian makna terhadap sebuah teks
sastra (sajak). Hal ini mengingat bahwa
sastrawan itu selalu menanggapi teks-teks lain yang ditulis sebelumnya. Dalam
meanggapiteks itu penyair mempunyai pikiran-pikiran, gagasan-gagasan, dan
konsep estetik sendiri yang ditentukan oleh horizon harapannya, yaitu
pemikiran-pemikiran, konsep estetik, dan pengetahuan tentang sastra yang
dimilikinya. Semuanya itu ditentukan oleh pengetahuan yang didapat olehnya yang
tak terlepas dari pandangan-pandangan dunia dan kondisi serta situasi zamannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar