Selamatan mitoni atau ningkebi orang hamil
dilaksanakan ketika kehamilan sudah menginjak usia tujuh bulan. Persediaan yang
harus ada adalah tumpeng, procot, bubur merah putih atau disebut bubur
sengkolo, sego (nasi) golong, rujak sepet ( dari sepet sabut kelapa muda ),
cengkir gading dll.Semua ‘uborampe’ tersebut juga merupakan doa bil isyaroh,
doa dengan perlambang. Perlambang-perlambang itu antara lain sebagai berikut :
Tumpeng. Tumpeng atau buceng merupakan nasi yang
dibentuk menyerupai kerucut, membentuk seakan-akan gunung kecil. Ini merupakan
lambang permohonan keselamatan. Bagi masyarakat melambangkan kekokohan,
kekuatan dan keselamatan.
Procot. Sejenis makanan terbuat dari ketan yang
dibungkus daun pisang bulat memanjang. Dinamakan dengan procot dengan harapan
lahirnya si bayi kelak ‘procat-procot’, mudah maksudnya.
Bubur sengkolo. Bubur sengkolo itu merupakan bubur
dengan warna merah dan putih. Merupakan lambang dari bibit asal-muasal kejadian
manusia selepas Bapa Adam dan Ibu Hawa, yaitu diciptakan Allah melalui
perantaraan darah merah dan darah putih dari ibu bapak kita. Harapan dari bubur
sengkolo adalah mudah-mudahan yang punya hajad itu ‘kalis ing sambikolo’
terlepas dari segala bahaya, baik bayinya maupun keluarganya.
Sego atau nasi golong. sego golong merupakan doa agar
rejekinya ‘golong-golong’ artinya banyak berlimpah ruah.
Rujak. Dari kirotobosonya menimbulkan arti ’saru yen
diajak’ artinya tidak patut lagi kalau si istri yang lagi hamil tua itu diajak
‘ajimak-saresmi’ lagi demi menjaga si jabang bayi dalam kandungan.
Cengkir. Ngencengake pikir artinya membulatkan tekad
untuk kelak menyambut kehadiran sang anak yang merupakan ‘titipan Ilahi’. Tekad
untuk apa saja ? Ya tekad untuk memelihara dan mendidik hingga menjadi anak
yang berbudi pekeri luhur.
Slametan mitoni selalu harus diadakan pada hari
setu wage (sabtu wage) dalam bulan ketujuh umur kandungan, yang mengandung
persamaan dengan istilah metu age atau “lekas keluar”. Biasanya di desa saya
merayakan suatu slametan mitoni untuk anak pertama, seringkali mengadakan
pertunjukkan wayang kulit semalam suntuk.
Cerita lakon yang di pertunjukkan pada
perayaan mitoni biasanya mengenai kelahiran salah seorang pandawa atau seorang
raja atau tokoh keramat dalam cerita wayang. Selain itu juga ada yang
Mengadakan pertunjukkan perjanjen, yaitu nyanyian – nyanyian islam, pada suatu
perayaan tingkeban. Sejak diadakan upacara mitoni, seorang calon ibu harus
mematuhi berbagai syarat dan pantangan, seperti mencuci rambutnya seminggu
sekali dengan air merang yang sudah diberi kekuatan gaib dengan ucapan mantera
mantera. Kecuali itu seorang wanita hamil juga harus minum jamu setiap minggu,
dan air tajin setiap hari, adapun larangan untuk makan berbagai makanan
tertentu seperti telur, ayam muda, buah “kepel”, udang , ikan, yang berpatil
dan buah buah yang letak bijinya melintang sebenarnya sudah di mulai sejak awal
kehamilannya. Buah buahan denagna biji yang tersusun melintang dianggap dapat
mempengaruhi letak yang salah dari sijabang bayi. Karena itu larangan untuk
makan buah semacam itu dapat menghindari kemungkinan terjadinya letak yang
salah.
Kecuali memperhatikan pantangan –
pantangan tersebut,seorang calaon ayah dan ibu juga harus berhati-hati , dan
tidak melakukan hal-hal yang dilarang seperti diatas. Jika tak disengaja
terjadi pelarangan atas salah satu pantangan , maka calon ayah dan ibu yang bersangkutan
harus segera mengucapkan “ nyuwun sewu jabang bayi” untuk menghapus
kesalahannya. Dalam kesembilan dari kehamilan diadakan suatu selametan lagi,
yaitu selametan mumuli sedherek. Untuk menghormati saudara-saudara kembar anak
yang belum lahir itu. Toya kawah ( air ketuban ) secara perlambang dianggap sebagai sedherek sepuh ( saudara kandung yang lebih tua ),
sedangkan ari-ari dianggap sebagai sederek enem
( adik ). Orang jawa
menganggap kedua itu memiliki jiwa
sendiri-seendiri, yang kelak akan menjadi roh pelindung bagi bayi yang lahir
bersamanya. Selama beberapa minggu sebelum melahirkan, si calon ibu harus minum
jamu temulawak tiga kali sehari.
Demikianlah serba sedikit tentang berbagai tradisi
yang masih hidup di desa saya. Semua itu ternyata merupakan doa dengan kiasan
perlambang atau doa bil isyarah. Jadi jangan cepat-cepat memfonis tahayul dan
sebagainya. Karena para leluhur Jawa dahulu memang penuh kehalusan dalam
‘pasemon’ untuk mengungkapkan isi hati. Dari sifat itulah yang kemudian banyak
menghasilkan berbagai hasil budaya yang adiluhung misalnya karya batik, wayang
kulit, berbagai tembang dan lain sebagainya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar