Fenomena globalisasi
bukanlah sesuatu yang baru. Palmer menggambarkan justru adanya globalisasilah
yang membuat budaya semakin beragam seraya berkembang dan mengisi satu dengan
yang lainnya. Bagi Palmer mereka yang membela keotentikan budaya biasanya
menganggap batas-batas budaya otentik sama dengan batas-batas territorial.
Menutup tulisannya Palmer mengatakan, budaya yang hidup selalu berubah, proses
perubahanlah yang menjadikan budaya sebagai budaya. Sekitar tahun 420 sebelum
Masehi, ahli filosofi Democritus dari Abdera menulis, ”Bagi orang yang
bijaksana seluruh dunia ini terbuka, karena asal jiwa yang baik adalah seluruh
dunia.” Demikian pula bagi orang Jawa di Yogyakarta. Sejarah telah membuktikan
bahwa persentuhan antara budaya satu dengan yang lainnya justru memperkaya dan
melengkapi kebudayaan lokal. Kehadiran budaya lain di tengah budaya lokal dapat
menjadi unsur dinamisasi budaya lokal. Kehadiran budaya Hindu dan Budha mampu
berakulturasi dengan budaya lokal tanpa ada konflik yang penting.
Realita sejarah
telah membuktikan bahwa kebudayaan Yogyakarta bukanlah kebudayaan asli yang
berdiri sendiri di negerinya, tetapi merupakan ramuan dari berbagai kebudayaan
yang telah di-harmonisasikan ke dalam seluruh aspek kehidupan berbudaya di
Yogyakarta. Seorang ahli tata ruang dan ahli strategi perang telah mendesign
kebudayaan Yogyakarta sedemikian rupa yang dimanifestasikan dalam bentuk seni
pertunjukan, seni rupa, bahasa, seni suara, seni sastra, adat istiadat,
filosofi, seni bangunan, dan sebagainya.
Sesungguhnya
permasalahan pokok dari kebudayaan itu bukan hanya globalisasi, tetapi terletak
pada eksistensi kebudayaan itu sendiri. Kebudayaan yang berkembang selama ini
dianggap telah meninggalkan banyak rumus aslinya. Faktor-faktor yang
menyebabkan kebudayaan Jawa di Yogyakarta tidak tampil dalam kehidupan
sehari-hari :
a.
Kebudayaan asli dianggap kurang praktis,
b. Biaya ritual yang mahal dan terlalu banyak perhitungan,
sehingga perlu penyederhanaan lagi.
c. Banyak aturan dan unggah-ungguh yang belum mendarah
daging di kalangan generasi muda.
Bukanlah globalisasi
yang harus dihindari, tetapi upaya-upaya pembakuan dan modernisasi yang
mengarah pada proses pembunuhan tradisi harus di lawan, karena itu berarti
pelenyapan atas sumber identitas lokal yang diawali dengan krisis identitas
lokal. Menghadapi globalisasi diperlukan sikap arif dan positif thinking,
karena globalisasi juga membawa nilai-nilai yang bisa dipadukan dengan budaya
asli.
Perpaduan Nilai-Nilai Kearifan Lokal dengan Nilai-Nilai Modern
Nilai-nilai kearifan lokal bukanlah nilai usang yang
harus dimatikan, tetapi dapat bersinergi dengan nilai-nilai universal dan
nilai-nilai modern yang dibawa globalisasi. Dunia internasional sangat menuntut
demokrasi, hak asasi manusia, lingkungan hidup menjadi agenda pembangunan di
setiap negara. Isu-isu tersebut dapat bersinergi dengan aktualisasi dari
filosofi ”Hamemayu Hayuning Bawana”,
masyarakat Yogyakarta harus bersikap dan perilaku yang selalu mengutamakan
harmoni, keselarasan, keserasian dan keseimbangan hubungan antara manusia
dengan alam, manusia dengan manusia dan manusia dengan Allah SWT dalam
melaksanakan hidup dan kehidupan agar negara menjadi panjang, punjung, gemah ripah loh jinawi, karta tur raharja.
Hamemayu Hayuning
Bawana dapat direalisasikan dengan Hamemasuh
Memalaning Bumi, yaitu membersihkan atau mengamankan tindakan-tindakan yang
melanggar hak-hak asasi manusia. ”Memalaning
Bumi” itu dapat berupa peperangan, penghapusan etnis, penyalahgunaan obat
bius, penggunaan senjata pemusnah masal, terorisme, wabah penyakit, pembakaran
hutan, dan lain-lain yang membahayakan kehidupan manusia dan alam lingkungan.
Rasio dan kreatifitas Barat dapat bersinergi dengan Hangengasah Mingising Budi, yang menggambarkan upaya yang tidak
berhenti untuk mempertajam budi/manusia sehingga semakin tajam dari waktu ke
waktu. Budi manusia yang terasah akan selalu menghasilkan hal-hal yang bersifat
baik bahkan luhur dalam wujud hasrat sampai dengan perbuatan atau karya-karyanya.
Dalam hal ini diharapkan manusia dapat melahirkan pemikiran-pemikiran atau
hasrat baik atau luhur secara terus menerus guna disumbangkan bagi kepentingan
manusia atau bebrayan agung termasuk
untuk melindungi atau melestarikan dunia seisinya. Etos kerja dan
profesionalisme dapat sinergi dengan filosofi ”Sepi ing pamrih rame ing gawe” (giat bekerja tanpa memikirkan diri
sendiri). Terbangunnya kondisi damai dalam menjalin hubungan dengan
negara-negara lain sehingga tercipta stabilitas keamanan dari tingkat sub
regional, regional bahkan di dunia seyogyanya dicapai dengan aplikasi konsep ”nglurug tanpa bala, menang tanpa ngasorake”.
Membangun
Pusat-pusat Revitalisasi Kebudayaan Jawa.
Yogyakarta masih
memiliki desa-desa budaya, yang di dalamnya diperkaya arsitektur tradisional,
upacara ritual, kesenian, barang-barang kerajinan, dan sebagainya. Untuk
menjamin kelancaran kegiatan Pusat Revitalisasi Kebudayaan Jawa di Jogja secara
berkesinambungan tentu diperlukan sumber dana yang tetap. Dalam hal ini pihak pemerintah,
swasta, swadaya masyarakat secara bergotong-royong menyediakan satu sumber dana
secara berkesinambungan dapat di pergunakan untuk biaya yang diperlukan oleh
Pusat Revitalisasi Kebudayaan. Kalau kegiatan dalam proyek tersebut sudah dapat
menghasilkan produksi yang dapat dijual ke pasaran, hasilnya akan digunakan
sepenuhnya untuk membiayai proyek tersebut. Untuk melakukan revitalisasi
kebudayaan membutuhkan media yang bertaraf nasional dan internasional sehingga
bisa meningkatkan peran kebudayaan lokal di fora nasional maupun internasional,
dapat memanfaatkan teknologi komputer untuk menawarkannya.
Budaya
yang khas dapat menjadi suatu produk yang memiliki nilai tambah yang tinggi,
sesuai dengan perkembangan media. Daya tarik kebudayaan akan berpengaruh pada
daya tarik yang lainnya termasuk ekonomi dan investasi. Pemerintah sudah
selayaknya memperkuatkan daya saing di sektor budaya, dan mempromosikan
industri budaya yang memiliki nilai tambah yang tinggi sebagai penggerak
ekonomi di Yogyakarta. Untuk memperkuat daya saing budaya pemerintah perlu
membangun pusat informasi gabungan untuk pertunjukan seni, pendirian dan
pengelolaan promosi pertunjukan seni, pengembangan tenaga ahli khusus untuk
membesarkan anak yang berbakat seni, menggiatkan sumbangan pengusaha di bidang
seni, sistem sertifikatmhadiah untuk buku dan pertunjukan seni budaya,
peningkatan kegiatan promosi tentang produk budaya.
III. Rekomendasi
Permasalahan utama dari pembangunan
kebudayaan bukan hanya disebabkan oleh globalisasi, tetapi juga menyangkut
kondisi ketahanan budaya masyarakat setempat sendiri yang mengalami stagnasi.
Globalisasi yang tidak terhindarkan harus diantisipasi dengan pembangunan
budaya yang berkarakter penguatan jati diri dan kearifan lokal yang dijadikan
sebagai dasar pijakan dalam penyusunan strategi dalam pelestarian dan
pengembangan budaya. Upaya memperkuat jatidiri daerah dapat dilakukan melalui
penanaman nilai-nilai budaya dan kesejarahan senasib sepenanggungan di antara
warga. Oleh karena itu perlu dilakukan revitalisasi budaya daerah dan perkuatan
budaya daerah. Upaya tersebutt direalisasikan melalui langkah-langkah
strategis berikut ini:
A.
Revitalisasi nilai-nilai kearifan lokal
1.
Pemahaman atas falsafah budaya Jawa sebaiknya dilakukan
sesegera mungkin ke semua golongan dan semua usia berkelanjutan dengan
menggunakan bahasa Jawa. Demikian pula di lingkungan pemerintahan, dari pusat
hingga RT dan RW.
2.
Pembenahan dalam pembelajaran Bahasa Jawa.
3. ”Plug
in” muatan budi pekerti di setiap mata pelajaran di lingkungan pendidikan.
4.
Pengembangan kesenian tradisional perlu menjadi perhatian para pemangku
kebijakan
5. Pengaitan kajian-kajian budaya
dengan aspek kehidupan kemasyarakatan yang lain, seperti teknologi, kesehatan,
agronomi.
B.
Peningkatan kualitas Sumber Daya Manusia
1. Peningkatan
kualitas pendidik, pemangku budaya yang berkelanjutan
2. Pelibatan semua pihak, pemerintah, LSM,
kelompok masyarakat, pemerhati, akademisi, pebisnis.
3.
Penghargaan bagi pemangku, pelaku dan pengembang budaya Jawa.
C.
Fasilitasi dan pendanaan kegiatan kebudayaan (ritual,
kesenian, rehabilitasi Benda Budaya, dan sebagainya) yang berkelanjutan.
1. Pemanfaatan berbagai prasarana yang ada di masyarakat
dan universitas
2.
Peningkatan peran media cetak dan elektronik dan visual termasuk media luar dan dalam ruangan dalam membuat kondusif pemahaman falsafah budaya Jawa, mempromosikan
seni pertunjukan lokal melalui website.
3. Pejadwalan rutin workshop dan saresehan
falsafah budaya Jawa
4. Penggalangan jejaring antar pengembang
kebudayaan baik di Yogyakarta maupun di luar Yogyakarta.
5. Memberi
fasilitas secara berkelanjutan bagi program-program pelestarian dan pengembangan
budaya.
D.
Penyusunan peraturan perundang-undang untuk melindungi
hasil-hasil karya kebudayaan.
1. Penyusunan
draft hak patent atas karya-karya budaya leluhur, seperti lukisan Affandi, batik, anyam-anyaman, keramik
Kasongan dan sebagainya sebelum diklaim oleh negara lain.
2. Penyusunan PERDA
yang melindungi aset budaya baik yag berupa ide, perilaku, maupun
fisik.
- Penciptaan tata ruang budaya yang kondusif untuk pengembangan, pelestarian, pewarisan kebudayaan.
Pembangunan budaya yang berkarakter pada penguatan jati
diri mempunyai karakter dan sifat interdepensi atau memiliki keterkaitan lintas
sektoral, spasial, struktural multi dimensi, interdisipliner, bertumpu kepada
masyarakat sebagai kekuatan dasra dengan memanfaatkan potensi sumber daya
pemerataan yang tinggi. Karakter pembangunan budaya tersebut secara efektif
merangkul dan menggerakkan seluruh elemen dalam menghadapi era globalisasi yang
membuka proses lintas budaya (trans-cultural)
dan silang budaya (cross cultural)
yang secara berkelanjutan akan mempertemukan nilai-nilai budaya satu dengan
lainnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar