Senin, 22 Desember 2014

Ketahanan Budaya



Fenomena globalisasi bukanlah sesuatu yang baru. Palmer menggambarkan justru adanya globalisasilah yang membuat budaya semakin beragam seraya berkembang dan mengisi satu dengan yang lainnya. Bagi Palmer mereka yang membela keotentikan budaya biasanya menganggap batas-batas budaya otentik sama dengan batas-batas territorial. Menutup tulisannya Palmer mengatakan, budaya yang hidup selalu berubah, proses perubahanlah yang menjadikan budaya sebagai budaya. Sekitar tahun 420 sebelum Masehi, ahli filosofi Democritus dari Abdera menulis, ”Bagi orang yang bijaksana seluruh dunia ini terbuka, karena asal jiwa yang baik adalah seluruh dunia.” Demikian pula bagi orang Jawa di Yogyakarta. Sejarah telah membuktikan bahwa persentuhan antara budaya satu dengan yang lainnya justru memperkaya dan melengkapi kebudayaan lokal. Kehadiran budaya lain di tengah budaya lokal dapat menjadi unsur dinamisasi budaya lokal. Kehadiran budaya Hindu dan Budha mampu berakulturasi dengan budaya lokal tanpa ada konflik yang penting.
Realita sejarah telah membuktikan bahwa kebudayaan Yogyakarta bukanlah kebudayaan asli yang berdiri sendiri di negerinya, tetapi merupakan ramuan dari berbagai kebudayaan yang telah di-harmonisasikan ke dalam seluruh aspek kehidupan berbudaya di Yogyakarta. Seorang ahli tata ruang dan ahli strategi perang telah mendesign kebudayaan Yogyakarta sedemikian rupa yang dimanifestasikan dalam bentuk seni pertunjukan, seni rupa, bahasa, seni suara, seni sastra, adat istiadat, filosofi, seni bangunan, dan sebagainya.
Sesungguhnya permasalahan pokok dari kebudayaan itu bukan hanya globalisasi, tetapi terletak pada eksistensi kebudayaan itu sendiri. Kebudayaan yang berkembang selama ini dianggap telah meninggalkan banyak rumus aslinya. Faktor-faktor yang menyebabkan kebudayaan Jawa di Yogyakarta tidak tampil dalam kehidupan sehari-hari :
a.       Kebudayaan asli dianggap kurang praktis,
b.    Biaya ritual yang mahal dan terlalu banyak perhitungan, sehingga perlu penyederhanaan lagi.
c.  Banyak aturan dan unggah-ungguh yang belum mendarah daging di kalangan generasi muda.
Bukanlah globalisasi yang harus dihindari, tetapi upaya-upaya pembakuan dan modernisasi yang mengarah pada proses pembunuhan tradisi harus di lawan, karena itu berarti pelenyapan atas sumber identitas lokal yang diawali dengan krisis identitas lokal. Menghadapi globalisasi diperlukan sikap arif dan positif thinking, karena globalisasi juga membawa nilai-nilai yang bisa dipadukan dengan budaya asli.
Perpaduan Nilai-Nilai Kearifan Lokal dengan Nilai-Nilai Modern
Nilai-nilai kearifan lokal bukanlah nilai usang yang harus dimatikan, tetapi dapat bersinergi dengan nilai-nilai universal dan nilai-nilai modern yang dibawa globalisasi. Dunia internasional sangat menuntut demokrasi, hak asasi manusia, lingkungan hidup menjadi agenda pembangunan di setiap negara. Isu-isu tersebut dapat bersinergi dengan aktualisasi dari filosofi ”Hamemayu Hayuning Bawana”, masyarakat Yogyakarta harus bersikap dan perilaku yang selalu mengutamakan harmoni, keselarasan, keserasian dan keseimbangan hubungan antara manusia dengan alam, manusia dengan manusia dan manusia dengan Allah SWT dalam melaksanakan hidup dan kehidupan agar negara menjadi panjang, punjung, gemah ripah loh jinawi, karta tur raharja.
Hamemayu Hayuning Bawana dapat direalisasikan dengan Hamemasuh Memalaning Bumi, yaitu membersihkan atau mengamankan tindakan-tindakan yang melanggar hak-hak asasi manusia. ”Memalaning Bumi” itu dapat berupa peperangan, penghapusan etnis, penyalahgunaan obat bius, penggunaan senjata pemusnah masal, terorisme, wabah penyakit, pembakaran hutan, dan lain-lain yang membahayakan kehidupan manusia dan alam lingkungan. Rasio dan kreatifitas Barat dapat bersinergi dengan Hangengasah Mingising Budi, yang menggambarkan upaya yang tidak berhenti untuk mempertajam budi/manusia sehingga semakin tajam dari waktu ke waktu. Budi manusia yang terasah akan selalu menghasilkan hal-hal yang bersifat baik bahkan luhur dalam wujud hasrat sampai dengan perbuatan atau karya-karyanya. Dalam hal ini diharapkan manusia dapat melahirkan pemikiran-pemikiran atau hasrat baik atau luhur secara terus menerus guna disumbangkan bagi kepentingan manusia atau bebrayan agung termasuk untuk melindungi atau melestarikan dunia seisinya. Etos kerja dan profesionalisme dapat sinergi dengan filosofi ”Sepi ing pamrih rame ing gawe” (giat bekerja tanpa memikirkan diri sendiri). Terbangunnya kondisi damai dalam menjalin hubungan dengan negara-negara lain sehingga tercipta stabilitas keamanan dari tingkat sub regional, regional bahkan di dunia seyogyanya dicapai dengan aplikasi konsep ”nglurug tanpa bala, menang tanpa ngasorake”.
Membangun Pusat-pusat Revitalisasi Kebudayaan Jawa.
Yogyakarta masih memiliki desa-desa budaya, yang di dalamnya diperkaya arsitektur tradisional, upacara ritual, kesenian, barang-barang kerajinan, dan sebagainya. Untuk menjamin kelancaran kegiatan Pusat Revitalisasi Kebudayaan Jawa di Jogja secara berkesinambungan tentu diperlukan sumber dana yang tetap. Dalam hal ini pihak pemerintah, swasta, swadaya masyarakat secara bergotong-royong menyediakan satu sumber dana secara berkesinambungan dapat di pergunakan untuk biaya yang diperlukan oleh Pusat Revitalisasi Kebudayaan. Kalau kegiatan dalam proyek tersebut sudah dapat menghasilkan produksi yang dapat dijual ke pasaran, hasilnya akan digunakan sepenuhnya untuk membiayai proyek tersebut. Untuk melakukan revitalisasi kebudayaan membutuhkan media yang bertaraf nasional dan internasional sehingga bisa meningkatkan peran kebudayaan lokal di fora nasional maupun internasional, dapat memanfaatkan teknologi komputer untuk menawarkannya.
            Budaya yang khas dapat menjadi suatu produk yang memiliki nilai tambah yang tinggi, sesuai dengan perkembangan media. Daya tarik kebudayaan akan berpengaruh pada daya tarik yang lainnya termasuk ekonomi dan investasi. Pemerintah sudah selayaknya memperkuatkan daya saing di sektor budaya, dan mempromosikan industri budaya yang memiliki nilai tambah yang tinggi sebagai penggerak ekonomi di Yogyakarta. Untuk memperkuat daya saing budaya pemerintah perlu membangun pusat informasi gabungan untuk pertunjukan seni, pendirian dan pengelolaan promosi pertunjukan seni, pengembangan tenaga ahli khusus untuk membesarkan anak yang berbakat seni, menggiatkan sumbangan pengusaha di bidang seni, sistem sertifikatmhadiah untuk buku dan pertunjukan seni budaya, peningkatan kegiatan promosi tentang produk budaya.
III. Rekomendasi
         Permasalahan utama dari pembangunan kebudayaan bukan hanya disebabkan oleh globalisasi, tetapi juga menyangkut kondisi ketahanan budaya masyarakat setempat sendiri yang mengalami stagnasi. Globalisasi yang tidak terhindarkan harus diantisipasi dengan pembangunan budaya yang berkarakter penguatan jati diri dan kearifan lokal yang dijadikan sebagai dasar pijakan dalam penyusunan strategi dalam pelestarian dan pengembangan budaya. Upaya memperkuat jatidiri daerah dapat dilakukan melalui penanaman nilai-nilai budaya dan kesejarahan senasib sepenanggungan di antara warga. Oleh karena itu perlu dilakukan revitalisasi budaya daerah dan perkuatan budaya daerah. Upaya tersebutt direalisasikan melalui langkah-langkah strategis berikut ini:
A.    Revitalisasi nilai-nilai kearifan lokal
1.       Pemahaman atas falsafah budaya Jawa sebaiknya dilakukan sesegera mungkin ke semua golongan dan semua usia berkelanjutan dengan menggunakan bahasa Jawa. Demikian pula di lingkungan pemerintahan, dari pusat hingga RT dan RW.
2.      Pembenahan dalam pembelajaran Bahasa Jawa.
3. ”Plug in” muatan budi pekerti di setiap mata pelajaran di lingkungan pendidikan.
4.  Pengembangan kesenian tradisional perlu menjadi perhatian para pemangku
     kebijakan
5. Pengaitan kajian-kajian budaya dengan aspek kehidupan kemasyarakatan yang lain, seperti teknologi, kesehatan, agronomi.
B.      Peningkatan kualitas Sumber Daya Manusia
1.  Peningkatan kualitas pendidik, pemangku budaya yang berkelanjutan
      2.  Pelibatan semua pihak, pemerintah, LSM, kelompok masyarakat, pemerhati, akademisi, pebisnis.
      3. Penghargaan bagi pemangku, pelaku dan pengembang budaya Jawa.
C.     Fasilitasi dan pendanaan kegiatan kebudayaan (ritual, kesenian, rehabilitasi Benda Budaya, dan sebagainya) yang berkelanjutan.
1. Pemanfaatan berbagai prasarana yang ada di masyarakat dan universitas
      2. Peningkatan peran media cetak dan elektronik dan visual termasuk media luar dan dalam  ruangan dalam membuat kondusif pemahaman falsafah budaya Jawa, mempromosikan seni pertunjukan lokal melalui website.
      3.  Pejadwalan rutin workshop dan saresehan falsafah budaya Jawa
      4.  Penggalangan jejaring antar pengembang kebudayaan baik di Yogyakarta maupun di luar Yogyakarta.
      5. Memberi fasilitas secara berkelanjutan bagi program-program pelestarian dan pengembangan budaya.
D.     Penyusunan peraturan perundang-undang untuk melindungi hasil-hasil karya kebudayaan.
1. Penyusunan draft hak patent atas karya-karya budaya leluhur, seperti lukisan  Affandi, batik, anyam-anyaman, keramik Kasongan dan sebagainya sebelum diklaim oleh negara lain.
2.  Penyusunan PERDA yang melindungi aset budaya baik yag berupa ide, perilaku, maupun fisik.
  1. Penciptaan tata ruang budaya yang kondusif untuk pengembangan, pelestarian, pewarisan kebudayaan.
Pembangunan budaya yang berkarakter pada penguatan jati diri mempunyai karakter dan sifat interdepensi atau memiliki keterkaitan lintas sektoral, spasial, struktural multi dimensi, interdisipliner, bertumpu kepada masyarakat sebagai kekuatan dasra dengan memanfaatkan potensi sumber daya pemerataan yang tinggi. Karakter pembangunan budaya tersebut secara efektif merangkul dan menggerakkan seluruh elemen dalam menghadapi era globalisasi yang membuka proses lintas budaya (trans-cultural) dan silang budaya (cross cultural) yang secara berkelanjutan akan mempertemukan nilai-nilai budaya satu dengan lainnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar